Risiko Penggunaan Teknologi dalam Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial

wacaberita.com – Risiko Penggunaan Teknologi dalam Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial. Transformasi digital dalam dunia pendidikan telah membuka jalan bagi pendekatan pembelajaran yang lebih inovatif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Salah satu implementasi yang kini banyak dikembangkan adalah pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KA), yang secara langsung mengandalkan penggunaan perangkat teknologi dan akses internet. Namun di balik kemajuan ini, muncul pula tantangan besar yang tidak boleh diabaikan. Teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu justru bisa menjadi sumber gangguan jika tidak dikendalikan dengan tepat. Oleh karena itu, penting untuk memahami berbagai potensi risiko yang dapat timbul dari penggunaan teknologi dalam pembelajaran, terutama pada peserta didik usia sekolah dasar hingga menengah.

1. Risiko Distraksi Digital yang Semakin Meningkat

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa penggunaan teknologi dalam pendidikan tidak serta-merta menghasilkan peningkatan signifikan dalam prestasi belajar siswa. Misalnya, menurut Kanuka & Keland (2008) serta Passey & Higgins (2011), tidak ada jaminan bahwa pemanfaatan perangkat digital akan secara langsung berbanding lurus dengan capaian akademik siswa. Justru sebaliknya, keterbukaan akses terhadap internet dapat menjadi sumber distraksi yang mengganggu konsentrasi belajar.

Cole & Hilliard (2006) serta Richards dkk. (2008) menyoroti bagaimana internet yang kaya informasi juga memuat potensi gangguan yang tinggi, seperti akses ke media sosial, konten hiburan, dan permainan daring. Hal ini menempatkan peserta didik pada posisi rawan terhadap penurunan fokus, terutama jika tidak ada pengawasan yang memadai.

Baca Juga :  Pengertian Power Suplay yang Wajib Anda ketahui

2. Kegiatan Koding dan KA: Antara Eksplorasi dan Risiko

Pembelajaran berbasis koding dan KA menuntut siswa untuk berinteraksi dengan perangkat digital secara intens. Sering kali mereka mengakses platform pembelajaran daring, software pemrograman, atau sumber belajar terbuka yang semuanya terkoneksi internet. Hal ini memang memberi keleluasaan dan memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga membuka ruang bagi akses ke konten-konten yang tidak relevan atau bahkan membahayakan.

Selain distraksi, risiko lain seperti konten tidak layak, penipuan daring, dan paparan data pribadi menjadi perhatian penting. Akses internet yang luas tanpa batas waktu yang jelas dapat memicu penyimpangan penggunaan, dari sekadar main game saat belajar hingga berinteraksi di platform digital yang tidak seharusnya.

3. Peran Guru sebagai Fasilitator dan Pengarah

Dalam situasi seperti ini, guru memiliki peran krusial sebagai fasilitator pembelajaran digital sekaligus pengarah penggunaan teknologi. Guru harus menetapkan aturan penggunaan perangkat selama pembelajaran berlangsung, misalnya dengan menggunakan perangkat lunak pengontrol layar, mengarahkan pada situs tertentu, serta menetapkan batasan waktu penggunaan.

Lebih dari itu, guru juga harus membekali peserta didik dengan pemahaman literasi digital, seperti cara menyaring informasi, memahami keamanan siber, serta mengenali ancaman online. Dalam konteks koding dan KA, pemahaman ini harus menjadi bagian dari proses belajar, bukan hanya pelengkap.

4. Literasi Etika Digital: Pembelajaran di Australia sebagai Contoh

Australia merupakan salah satu negara yang sudah memasukkan etika digital sebagai bagian dari capaian pembelajaran dalam kurikulum KA mereka. Dalam dokumen di situs v9.australiancurriculum.edu.au, peserta didik tidak hanya diajarkan tentang kecerdasan buatan secara teknis, tetapi juga dibekali dengan pemahaman tentang privasi, dampak sosial teknologi, dan tanggung jawab digital.

Baca Juga :  Bimtek dan Pelatihan Guru Koding dan Kecerdasan Artifisial di Indonesia

Model seperti ini bisa menjadi inspirasi dalam pengembangan kurikulum nasional di Indonesia. Pendidikan teknologi tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga harus disertai pembentukan karakter digital yang kuat.

5. Kolaborasi dengan Orang Tua di Rumah

Selain guru, peran orang tua juga sangat penting, khususnya bagi siswa usia sekolah dasar yang masih memerlukan pengawasan ekstra. Setelah aktivitas belajar di sekolah atau daring berakhir, siswa tetap berinteraksi dengan perangkat digital di rumah, baik untuk tugas sekolah atau hiburan.

Orang tua perlu menetapkan aturan penggunaan gawai di rumah, seperti waktu maksimal menatap layar, batasan aplikasi, serta jadwal istirahat. Mereka juga sebaiknya berkomunikasi secara aktif dengan guru agar bisa menyelaraskan pengawasan dan mendukung proses pembelajaran anak secara optimal.

6. Akses Tidak Terbatas: Masalah atau Kesempatan?

Salah satu tantangan utama dalam pemanfaatan teknologi pendidikan adalah akses tidak terbatas ke internet. Di satu sisi, akses terbuka memungkinkan eksplorasi, kreativitas, dan keterlibatan siswa dalam proses belajar yang mandiri. Namun di sisi lain, tanpa kontrol dan literasi yang cukup, akses ini bisa menjadi pintu masuk berbagai gangguan.

Guru dan sekolah bisa menggunakan berbagai strategi untuk membatasi ini, seperti menggunakan jaringan internet sekolah yang difilter, menetapkan daftar situs yang diizinkan, atau mengintegrasikan sistem pengawasan daring. Lebih jauh, penguatan karakter dan nilai-nilai integritas siswa menjadi benteng terbaik dalam menghadapi tantangan ini.

7. Kebijakan Sekolah dan Kurikulum Nasional yang Adaptif

Untuk mengatasi risiko-risiko tersebut, diperlukan kebijakan pendidikan yang adaptif dan kontekstual. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang memberikan pedoman jelas bagi sekolah dan guru dalam hal penggunaan teknologi, termasuk perlindungan data siswa, keamanan digital, dan etika daring.

Baca Juga :  Review Samsung Galaxy S22 Ultra Beserta Spesifikasi dan Harga Terbaru

Kurikulum juga harus fleksibel namun tetap berorientasi karakter, sehingga tidak hanya menyiapkan siswa untuk menjadi pengguna teknologi yang cakap, tetapi juga menjadi warga digital yang bertanggung jawab. Dengan integrasi etika digital dalam kurikulum, siswa akan lebih siap menghadapi dinamika dunia teknologi modern.

8. Membangun Budaya Digital yang Sehat di Sekolah

Sekolah perlu membangun budaya penggunaan teknologi yang sehat, bukan hanya melalui pengajaran materi, tetapi melalui pembiasaan dan keteladanan. Misalnya, dengan menyediakan ruang belajar daring yang bebas iklan dan gangguan, membiasakan siswa mengatur waktu layar, serta menyediakan waktu khusus untuk aktivitas non-digital seperti diskusi tatap muka atau aktivitas fisik.

Guru juga perlu memberikan contoh dalam penggunaan teknologi yang positif, misalnya dalam cara berkomunikasi melalui platform digital, penggunaan sumber belajar terpercaya, serta sikap profesional dalam forum daring.

Dalam era pembelajaran berbasis digital seperti koding dan kecerdasan artifisial, pemanfaatan teknologi bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan. Namun kebutuhan ini harus diimbangi dengan kesadaran terhadap risiko yang menyertainya. Distraksi digital, penyalahgunaan akses, dan lemahnya pemahaman etika bisa menjadi tantangan serius jika tidak ditangani secara terintegrasi. Guru, orang tua, dan kebijakan pendidikan harus berjalan seiring dalam membentuk lingkungan belajar yang aman, bermakna, dan beretika. Teknologi seharusnya menjadi jembatan menuju kemajuan, bukan jebakan yang menyesatkan proses pembelajaran. Maka, kolaborasi semua pihak mutlak diperlukan untuk menjadikan teknologi sebagai kekuatan transformatif dalam pendidikan yang berkelanjutan.