Table of Contents
wacaberita.com – Kecenderungan Compliance dalam Kebijakan Koding dan Kecerdasan Artifisial di Sekolah. Pendidikan di era digital menuntut pembaruan kebijakan yang adaptif dan berorientasi masa depan. Salah satu upaya besar pemerintah Indonesia adalah mendorong implementasi pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KA) di sekolah-sekolah. Meski inisiatif ini mendapat sambutan hangat dari banyak pemerintah daerah (pemda) dan satuan pendidikan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa antusiasme ini seringkali justru menjadi tantangan tersendiri. Fenomena compliance atau kepatuhan administratif tanpa kesiapan substantif menjadi salah satu kendala besar dalam memastikan efektivitas kebijakan tersebut.
Respons Pemda dan Sekolah: Antara Antusiasme dan Realita
Banyak sekolah dan pemda merespons kebijakan pembelajaran koding dan KA dengan langkah cepat: mendaftar, membuat laporan, dan menyatakan siap. Namun dalam banyak kasus, kesiapan ini tidak mencerminkan realita. Sekolah belum memiliki guru yang terlatih, infrastruktur teknologi belum memadai, bahkan beberapa tidak memiliki akses internet yang stabil. Sementara itu, pemda mendorong percepatan implementasi hanya karena ingin terlihat “taat” terhadap kebijakan pusat. Hal ini menimbulkan kesan bahwa keberhasilan kebijakan diukur dari partisipasi kuantitatif semata.
Belajar dari Kurikulum Merdeka: Cermin Compliance yang Tidak Efektif
Kondisi serupa pernah terjadi saat implementasi Kurikulum Merdeka tahun 2022. Banyak pemda “menginstruksikan” sekolah di wilayahnya untuk mendaftar dan menjalankan kurikulum tersebut tanpa mempertimbangkan kesiapan. Hal ini menyebabkan kurangnya pendampingan dan fasilitasi dari pemerintah pusat karena volume sekolah yang tinggi, tetapi tidak dibarengi kualitas penerapan yang merata. Data dari PSKP tahun 2024 mencatat bahwa hanya 34% sekolah mampu menerapkan praktik pembelajaran dan asesmen sesuai Kurikulum Merdeka dengan kategori “baik” dan “sangat baik”.
Kebijakan yang Dipersepsikan Sebagai Kewajiban: Awal dari Masalah Baru
Salah satu akar permasalahan adalah persepsi bahwa kebijakan pusat harus dilaksanakan tanpa ruang diskusi. Dalam banyak kasus, pemda melihat kebijakan baru sebagai kewajiban absolut, bukan sebagai panduan yang perlu dikaji dan disesuaikan. Sikap ini menular ke sekolah-sekolah, yang akhirnya menjalankan kebijakan hanya untuk memenuhi administrasi dan bukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Dalam konteks pembelajaran koding dan KA, pendekatan semacam ini dapat berujung pada beban tambahan bagi guru dan siswa. Guru dituntut mengajar materi yang belum mereka pahami, dan siswa dipaksa belajar konsep yang rumit tanpa dukungan yang memadai. Akibatnya, kegiatan belajar tidak berjalan efektif, dan tujuan kebijakan pun gagal tercapai.
Dampak Negatif dari Implementasi yang Bersifat Compliance
Kepatuhan administratif tanpa kesiapan berdampak langsung pada:
-
Guru menjadi terbebani karena harus menjalankan program tanpa pelatihan yang cukup.
-
Siswa kesulitan mengikuti materi karena pembelajaran tidak kontekstual dan tidak menarik.
-
Kualitas pembelajaran menurun karena program dijalankan sekadar formalitas.
-
Pemanfaatan sumber daya menjadi tidak efisien karena anggaran dan waktu habis untuk kegiatan yang tidak berdampak.
Masalah ini menegaskan bahwa dukungan substantif jauh lebih penting dibanding hanya mengejar angka partisipasi dalam laporan implementasi.
Urgensi Dukungan Konkret dan Pendekatan Fleksibel
Penting untuk mengubah pendekatan dari compliance menjadi kolaborasi. Untuk itu, dibutuhkan sejumlah langkah strategis:
-
Pemetaan Kesiapan Sekolah
Pemerintah perlu melakukan asesmen menyeluruh terhadap kesiapan sekolah dalam aspek SDM, sarana prasarana, dan dukungan digital. -
Fasilitasi dan Pendampingan Nyata
Sekolah yang menjalankan kebijakan ini harus mendapatkan pendampingan berkala, baik dari pemda maupun dari pusat. -
Pelatihan Guru
Penguatan kompetensi guru dalam koding dan KA harus dilakukan secara sistematis melalui pelatihan daring dan luring. -
Skenario Implementasi Bertahap
Sekolah harus diberi opsi untuk mengimplementasikan kebijakan sesuai dengan kemampuannya, misalnya mulai dari ekstrakurikuler sebelum ke intrakurikuler. -
Evaluasi dan Perbaikan Berkelanjutan
Proses implementasi perlu dikawal melalui evaluasi yang tidak hanya administratif, tetapi juga mencakup pengukuran kualitas pembelajaran dan kepuasan siswa.
Peran Pemda yang Lebih Visioner
Pemda tidak hanya sebagai penghubung kebijakan pusat dengan sekolah, tetapi juga sebagai pemegang peran penting dalam merancang strategi pendidikan daerah. Pemda perlu menyiapkan peta jalan implementasi pembelajaran koding dan KA yang mencakup:
-
Alokasi anggaran penguatan infrastruktur.
-
Program pelatihan dan workshop bagi guru.
-
Penunjukan tim teknis yang siap melakukan pendampingan.
-
Kolaborasi dengan sektor swasta atau lembaga pendidikan tinggi.
Pendekatan ini akan menjauhkan pemda dari praktik compliance, dan lebih mendekatkan mereka pada peran sebagai inisiator dan fasilitator transformasi pendidikan di wilayahnya.
Pentingnya Perspektif Adaptif dalam Kebijakan
Kebijakan yang kaku tidak akan mampu beradaptasi dengan keragaman kondisi di lapangan. Oleh sebab itu, setiap kebijakan pendidikan harus dirancang dengan prinsip adaptabilitas dan keberlanjutan. Pembelajaran koding dan KA yang berhasil tidak hanya ditentukan oleh dokumen kebijakan yang dibuat, tetapi oleh sejauh mana kebijakan itu mampu menyesuaikan diri dengan tantangan nyata di sekolah-sekolah.
Ini mencakup kemampuan guru, kesiapan infrastruktur, budaya sekolah, dan dukungan dari orang tua. Ketika semua unsur ini dipertimbangkan, barulah kebijakan bisa dilaksanakan dengan hasil yang berdampak nyata.
Kesimpulan
Kebijakan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial merupakan terobosan penting untuk menyiapkan generasi masa depan yang tangguh secara digital. Namun, keberhasilannya tidak ditentukan oleh banyaknya sekolah yang “ikut” program, tetapi oleh kesiapan, pemahaman, dan dukungan nyata dari berbagai pemangku kepentingan.
Fenomena compliance yang selama ini menghantui implementasi kebijakan pendidikan harus segera dihentikan. Pemerintah daerah dan sekolah perlu menyadari bahwa keberhasilan bukan soal kepatuhan semata, tetapi tentang komitmen, kolaborasi, dan inovasi.
Transformasi pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan semangat formalitas. Diperlukan strategi berkelanjutan yang menempatkan kebutuhan dan kesiapan sekolah sebagai pusat perhatian. Dengan pendekatan tersebut, pembelajaran koding dan KA tidak akan menjadi beban, melainkan peluang untuk membentuk generasi pembelajar yang adaptif dan inovatif.