Biodata Arswendo Atmowiloto, Penulis dan Wartawan Indonesia

Biodata Arswendo Atmowiloto, Penulis dan Wartawan Indonesia

Hai sobat biodata, kali ini kami akan bagikan biodata Arswendo Atmowiloto seorang Penulis dan Wartawan Indonesia. Penasaran ingin tahu tentang biodata Arswendo Atmowiloto, simak penjelasannya berikut ini.

Arswendo Atmowiloto

Arswendo Atmowiloto adalah seorang penulis dan wartawan asal Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS. Beliau menulis cerpen, novel, naskah drama, dan skenario film.

Arswendo Atmowiloto mempunyai nama asli Sarwendo. Ia mengganti nama depannya menjadi Arswendo lalu di belakang namanya itu ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang.

Beliau lahir tanggal 26 November 1948 di Surakarta, Jawa Tengah. Arswendo awalnya beragama Islam, namun kemudian berpindah menganut Katolik dengan nama baptis Paulus. Beliau menikahi Agnes Sri Hartini pada tahun 1971 dan dikaruniai tiga orang anak.

Setelah lulus SMA, Arswendo kuliah di fakultas bahasa dan sastra IKIP Solo, tetapi tidak tamat. Pada tahun 1979, ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa.

Selain itu, ia pernah memimpin Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah di Solo pada tahun 1972, wartawan Kompas dan pemimpin redaksi Hai, Monitor, dan Senang.

Setelah keluar dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, beliau bekerja di pabrik bihun dan kemudian di pabrik susu. Beliau juga pernah bekerja sebagai penjaga sepeda dan sebagai pemungut bola di lapangan.

Beliau mulai merintis karirnya sebagai sastrawan sejak tahun 1971. Cerpen pertamanya muncul berjudul “Sleko”, yang dimuat dalam majalah Bahari.

Di samping sebagai penulis, beliau juga aktif sebagai pemimpin di Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, Solo (1972).

Baca Juga :  Harga Emas Hari Ini Rabu 10 Agustus 2022

Setelah itu beliau bekerja sebagai konsultan penerbitan Subentra Citra Media pada tahun 1974. Sekitar tahun 1970-an, Arswendo menulis Keluarga Cemara, cerita populer tentang keluarga kecil yang hidup jauh dari ibu kota. Cerita ini kelak diadaptasi menjadi sinetron dan film.

Kemudian, pada tahun 1980-an, Arswendo menulis novel yang diadaptasi dari film Serangan Fajar dan Pengkhianatan G30S/PKI.

Pada tahun 1986, Arswendo menjadi pemimpin redaksi majalah Monitor. Lalu, pada tahun 1988, ia bergabung dengan dewan redaksi majalah Senang.

Monitor awalnya merupakan surat kabar, kemudian diganti oleh Arswendo menjadi tabloid yang mengulas film, televisi, dan hiburan. Dalam satu edisi pada tahun 1990, Tempo menyebut Arswendo sebagai “penulis Indonesia yang paling produktif.

Pada tanggal 15 Oktober 1990, Monitor merilis tabel nama berjudul “Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca”. Dari 50 tokoh yang ada dalam daftar itu, Arswendo menempati peringkat ke-10, di atas Muhammad (ke-11).

Peringkat ini menuai kritik dari para tokoh Muslim (kecuali Abdurrahman Wahid yang berpendapat bahwa Monitor punya hak terbit. Massa yang marah berdatangan ke kantor Monitor pada tanggal 17 Oktober, dua hari setelah daftarnya dirilis.

Arswendo meminta maaf secara terbuka melalui siaran televisi pada tanggal 19 Oktober. Beliau meminta maaf karena menerbitkan hasil jajak pendapat “tanpa penyuntingan”.

Tabloid Monitor juga merilis permohonan maaf di berbagai surat kabar di seluruh Indonesia. Keesokan harinya, unjuk rasa pecah di Jakarta dan Bandung.

Staf Monitor mulai menyelamatkan arsip dan dokumen tabloid pada malam tanggal 21 Oktober. Monitor edisi 22 Oktober memuat pernyataan maaf.

Pada tanggal 22 Oktober, sejumlah kelompok pemuda Muslim berunjuk rasa di jalanan dan merusak kantor Monitor.

Baca Juga :  Hanya Dengan Bertani Pisang Pemuda Asal Lampung Raih Keuntungan 30 Juta Per Bulan

Monitor, tabloid yang peredarannya mencapai 470.000–720.000 eksemplar pada saat itu, berhenti terbit setelah izinnya dicabut pada tanggal 23 Oktober oleh Menteri Penerangan Harmoko (pemegang saham Monitor) dan Arswendo diberhentikan oleh Gramedia. Pers menjuluki Arswendo sebagai “Salman Rushdie-nya Indonesia”.

Arswendo secara resmi ditahan polisi pada tanggal 26 Oktober 1990.Akantetapi beliau mengatakan dalam satu wawancara bahwa ia masih bebas sebelum vonis hakim dan “dijebloskan ke sel cuma sehari saat wartawan mau wawancara”.

Pada bulan april 1991, Arswendo dituduh melakukan subversi dan dihukum 5 tahun penjara. Kemudian Pengadilan menyatakan Arswendo seharusnya menyunting hasil kuis untuk mencegah provokasi terhadap pembaca yang masih muda.

Persidangan Arswendo menjadi salah satu persidangan yang paling ketat pengamanannya dalam sejarah Indonesia. Tempo menulis sekitar 1.000 personel dikerahkan untuk mengamankan jalannya sidang.

Di penjara, Arswendo menulis sejumlah karya sastra, cerita bernada absurd, dan anekdot humor. Salah satu tulisan yang dibuatnya di penjara, ”Menghitung Hari”, bercerita tentang kehidupan di penjara dan diterbitkan pada tahun 1993.

Pada tahun 1995, ”Menghitung Hari” kemudian diangkat menjadi sinetron di SCTV yang kelak memenangi penghargaan film terbaik di Festival Sinetron Indonesia pada tahun 1995.

Arswendo menulis kurang lebih 20 buku di tahanan, rata-rata memakai nama samaran.Lalu, Arswendo dibebaskan pada bulan Agustus pada tahun 1993.

Arswendo kembali menggeluti sastra dan jurnalisme setelah bebas dari penjara. Beliau menjadi pemimpin redaksi tabloid Bintang Indonesia selama tiga tahun, lalu beliau mendirikan perusahaan medianya sendiri, PT Atmo Bismo Sangotrah, pada tahun 1998.

Perusahaan ini memayungi beberapa media cetak, termasuk tabloid anak Bianglala, Ina (lalu berganti nama menjadi Ino), dan Pro-TV. Dua tabloid ditutup karena Arswendo tidak sejalan dengan mitranya, hanya Ino yang bertahan.

Baca Juga :  Biodata Charles Louis Alphonse Laveran Penemu Parasit Protozoa

Penghargaan

Penghargaan yang diperoleh Arswendo Atmowiloto

1. Hadiah Zakse (1972) untuk esainya yang berjudul “Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi”

2. Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1972 dan 1973) untuk dramanya yang berjudul “Penantang Tuhan” dan “Bayiku yang Pertama”

3. Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1975) untuk damanya “Sang Pangeran” dan “Sang Penasehat”

4. Penghargaan ASEAN Award di Bangkok untuk bukunya Dua Ibu dan Mandoblang (buku anak-anak)

Wafat 

Pada bulan Juni tahun 2019, keluarga mengungkapkan bahwa Arswendo telah mengidap kanker prostat sejak dua bulan yang lalu. Beliau wafat pada sore hari, pada tanggal 19 Juli di rumahnya di Jakarta Selatan. Arswendo dimakamkan keesokan harinya di tempat pemakaman San Diego Hills, Karawang.

Beberapa Karya Arswendo Atmowiloto

  1. Bayiku yang Pertama (Sandiwara Komedi dalam 3 Babak) (1974)
  2. Sang Pangeran (1975)
  3. Sang Pemahat (1976)
  4. The Circus (1977)
  5. Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1980)
  6. Dua Ibu (1981)
  7. Serangan Fajar (diangkat dari film yang memenangkan 6 Piala Citra pada Festival Film Indonesia) (1982)
  8. Pacar Ketinggalan Kereta (skenario dari novel “Kawinnya Juminten”) (1985)
  9. Anak Ratapan Insan (1985)
  10. Airlangga (1985)
  11. Senopati Pamungkas (1986/2003) – dianggap sebagai bestseller oleh Gramedia
  12. Akar Asap Neraka (1986)
  13. Dukun Tanpa Kemenyan (1986)
  14. Indonesia from the Air (1986)

Dalam penulisan, Arswendo menggunakan nama samaran. Untuk cerita bersambungnya, Sudesi (Sukses dengan Satu Istri), di harian Kompas, beliau menggunakan nama Sukmo Sasmito.

Untuk Auk yang dimuat di Suara Pembaruan ia memakai nama Lani Biki, kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng yang ia pungut sekenanya. Nama-nama lain yang juga pernah dipakainya adalah Said Saat dan B.M.D. Harahap.

 

Penutup

 

Itulah biodataArswendo Atmowiloto seorang Penulis dan Wartawan Indonesia. Semoga bisa menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi sobat biodata sekalian.

sumber : id.wikipedia.org