Table of Contents
Biodata Rahmah El Yunusiyah, Pendiri Diniyah Putri
Hai sobat biodata, kali ini kami akan bagikan biodata Rahmah El Yunusiyah seorang pendiri Diniyah Putri. Penasaran ingin tahu tentang biodata Rahmah El Yunusiyah seorang pendiri Diniyah Putri, simak penjelasannya berikut ini.
Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi.
Sewaktu Revolusi Nasional Indonesia, ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang serta menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka.
Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau.
Selain itu, ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia.
Sewaktu pendudukan Jepang di Sumatra Barat, Rahmah memimpin Haha No Kai di Padang Panjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padang Panjang dan mengerahkan muridnya melawan penjajah sesuai kesanggupan mereka walaupun hanya menyediakan makanan dan obat-obatan.
Pada tanggal 7 Januari 1949, ia ditangkap oleh Belanda dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka Kulliyatul Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan.
Dari Universitas Al-Azhar, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syekhah”—yang belum pernah diberikan sebelumnya—sewaktu ia berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah Putri. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.
Kehidupan awal
Rahmah El Yunusiyah lahir pada tanggal 29 Desember 1900 [Kalender Hijriyah: 1 Rajab 1319] di Nagari Bukit Surungan, Padangpanjang. Ia adalah anak terakhir dari pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafia, memiliki dua kakak perempuan dan dua kakak laki-laki.
Sang ayah meninggal dunia dalam usia enam puluh tahun, saat itu Rahmah berusia enam tahun. Keluarganya memilihkan salah seorang murid Yunus sebagai guru mengaji Rahmah. Dua abangnya yang pernah belajar di Sekolah Desa mengajarkan Rahmah baca tulis Arab dan Latin.
Di bawah asuhan ibu dan kakak-kakaknya, Rahmah tumbuh sebagai anak yang keras hati dan memiliki kemauan kuat. Lewat kemampuannya membaca, ia mempelajari buku-buku yang dimiliki dan ditulis abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy.
Menginjak usia 10 tahun, Rahmah sudah gemar mendegarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. Ia mengambil perbandingan dari kajian-kajian yang diikutinya, berpindah-pindah ke berbagai surau yang ada di Padangpanjang.
Pendidikan
Seiring arus pembaruan Islam yang dibawa oleh para ulama penuntut ilmu di Timur Tengah pada awal abad ke-20, sejumlah sekolah agama berdiri di berbagai daerah Minangkabu menggantikan sistem pendidikan tradisional yang berbasis surau.
Pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Islam Diniyah School yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern, menggunakan alat peraga dan memiliki perpustakaan.
Hal yang baru bagi sekolah agama saat itu, sekolah ini menerima murid perempuan di kelas yang sama dengan murid laki-laki. Rahmah ikut mendaftar, diterima duduk di bangku kelas tiga (setara tsanawiyah) oleh pihak sekolah menyesuaikan kemampuannya.
Selain menghadiri kelas pada pagi hari di Diniyah School, Rahmah memimpin kelompok belajar di luar kelas pada sore hari. Ia melihat, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar.
Rahmah mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fikih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya.
Bersama dua temannya Sitti Nansiah dan Djawana Basyir, Rahmah mempeljari fikih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi. Mereka tercatat sebagai murid-murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jembatan Besi, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Melalui keahlian yang dimiliki oleh mak tuonya, Rahmah belajar ilmu kebidanan. Ia sempat mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit kepada beberapa orang dokter. Di RS Kayutaman, Rahmah belajar kepada Sofyan Rasad dan mendapatkan izin menjalani praktik.
Secara privat, Rahmah mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda yang mengajar di Guguk Malintang. Pergaulan Rahmah sebagai pimpinan sekolah mempertemukannya dengan para guru yang mengajar di Padangpanjang.
Pengalamannya bertenun ia dapatkan dari pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikek dan Silungkang. Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini kelak memengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan di Diniyah Putri.
Mendirikan Sekolah Perempuan
Saat bersekolah di Diniyah School, Rahmah bergabung dengan Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas enam, Rahmah merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah perempuan sendiri kepada teman-teman perempuannya di PMDS.
Rahmah menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhannya untuk mewujudkan gagasannya ia sampaikan kepada abangnya, “Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa.”
Pada tanggal 1 November 1923, Rahmah membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri. Rahmah mengatur kegiatan belajar mengajar di masjid yang terletak berseberangan dengan rumah kediamannya di Jalan Lubuk Mata Kucing (sekarang Jalan Abdul Hamid Hakim), Pasar Usang, Padangpanjang.
Dua teman Rahmah, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir termasuk guru terawal, sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan adalah ibu-ibu muda. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat.
Murid-murid duduk di lantai mengelilingi guru secara berkelompok. Guru-guru memakai buku-buku berbahasa Arab dan menerangkan dengan bahasa Indonesia, sementara ilmu pengetahuan umum belum diajarkan pada tahun pertama.
Sekolah Diniyah Putri berkembang, jumlah muridpun makin lama makin berkembang. Tercatat, pada tahun 1928 Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid.
Pada tahun 1925, Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Putri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis.
Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama. Selain Diniyah Putri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal. Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang ibu-ibu pada mulanya.
Perkembangan Diniyah Puitri
Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid pada 1928. Jumlah itu, sebagaimana dicatat oleh Deliar Noer, bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935. Seorang lulusan Diniyah Putri Aishah Ghani menyebut kehidupan Diniyah Putri sangat terkungkung dan diawasi secara ketat.
“Mereka benar-benar mempersiapkan murid-murid perempuan menjadi perempuan, dengan mengajarkan menenun, ilmu kerumahtanggan, dan membuat murid-murid mengetahui segala sesuatu dan memiliki rasa tanggung jawab.”
Pada tahun 1935, Diniyah Putri membuka cabangnya di Jakarta yang membina tiga sekolah dengan bantuan dari beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padangpanjang.
Seiring meningkatnya kebutuhan tenaga pengajar, Rahmah membuka Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah (KMI) pada 1 Februari 1937 sebagai sekolah guru untuk putri dengan memiliki lama pendidikan tiga tahun.
Sebelum pendudukan Jepang, Diniyah Putri telah memiliki 500 murid pada 1941. Saat pendudukan Jepang, Diniyah Putri di Padangpanjang sempat menjadi tempat perawatan korban kecelakaan, sedangkan cabang Diniyah Putri di Jakarta ditutup.
Pada tahun 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam Diniyah Rendah dan Diniyah Menengah Pertama.
Diniyah Rendah setara dengan SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan Diniyah Menengah Pertama setara dengan SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya. DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD.
Lulusannya disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan lainnya. Adapaun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukan bagi tamatan SLTP yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B.
Meninggal
Rahmah El Yunusiyah meninggal mendadak dalam usia 71 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat Magrib pada tanggal 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya.
Sehari sebelum ia wafat, Rahmah sempat menemui Gubernur Sumatra Barat saat itu, Harun Zain, mengharapkan pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, “Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri.”
Setelah Rahmah wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai tahun 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
Penutup
Itulah biodata Rahmah El Yunusiyah seorang pendiri Diniyah Putri. Semoga bisa menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi sobat biodata sekalian.
sumber : wikipedia.org