Table of Contents
wacaberita.com – Tantangan Kesiapan dan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial di Sekolah. Dalam era digital yang berkembang pesat, dunia pendidikan dituntut untuk terus berinovasi. Salah satu bentuk inovasi tersebut adalah pengenalan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KA) di sekolah. Kebijakan ini bertujuan untuk menyiapkan generasi muda agar mampu bersaing di masa depan yang penuh dengan teknologi. Namun, inisiatif tersebut tidak bisa berjalan tanpa kesiapan sumber daya manusia yang memadai, terutama guru. Guru adalah kunci keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan, namun masih banyak tantangan yang perlu dihadapi terutama terkait kompetensi, pola pikir, serta dukungan profesional yang mereka terima.
Keterbatasan Kompetensi Digital Guru dalam Konteks Koding dan KA
Salah satu tantangan paling nyata yang dihadapi saat ini adalah kompetensi guru dalam bidang digital. Pengalaman saat pandemi COVID-19 menjadi cerminan awal bahwa banyak guru belum siap menjalankan pembelajaran berbasis teknologi. Laporan dari UNICEF (2020) mencatat bahwa 67% guru di Indonesia mengalami kendala dalam menggunakan platform pembelajaran daring. Jika penggunaan platform digital dasar saja masih menjadi kendala, maka tantangan akan semakin besar ketika guru harus mengajar materi seperti koding dan kecerdasan artifisial yang jauh lebih kompleks.
Koding menuntut pemahaman terhadap logika pemrograman dan konsep berpikir komputasional, sementara KA berkaitan erat dengan analisis data, pemodelan algoritma, dan machine learning. Kedua bidang ini memerlukan keterampilan tinggi, bahkan di luar penguasaan dasar penggunaan teknologi.
Perbandingan Internasional: Tantangan Serupa di Negara Lain
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi kendala dalam kesiapan guru terhadap pembelajaran koding dan KA. Studi yang dilakukan oleh Sharma (2024) di India menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan guru yang tidak homogen menjadi salah satu hambatan utama. Banyak guru yang tidak berasal dari bidang teknologi merasa kesulitan mengikuti tuntutan kurikulum baru.
Situasi yang hampir serupa juga ditemukan di negara maju seperti Singapura dan Korea Selatan. Meskipun para guru di kedua negara tersebut umumnya telah menyelesaikan pendidikan tingkat lanjut (S2), mereka tetap mengalami kesulitan dalam mengikuti kecepatan perkembangan teknologi. Studi UNESCO (2023) dan Kim & Kwon (2023) menyoroti bahwa guru non-STEM merasa kurang percaya diri untuk mengajarkan materi koding dan KA karena kurangnya pemahaman teknis yang memadai.
Minimnya Akses Pelatihan yang Efektif dan Berkelanjutan
Pelatihan guru merupakan salah satu faktor krusial dalam meningkatkan kompetensi mereka, namun tantangan lain yang muncul adalah kualitas dan keberlanjutan pelatihan itu sendiri. Sebagian besar pelatihan guru yang ada saat ini masih bersifat jangka pendek dan lebih banyak berfokus pada penggunaan alat atau platform daripada pada pemahaman konseptual dan pedagogis koding serta KA.
Ketiadaan pelatihan yang mendalam menyebabkan guru merasa kesulitan menyusun perangkat ajar yang relevan dan menerapkan strategi pembelajaran berbasis proyek. Di sisi lain, keterbatasan akses terhadap pelatihan juga memperparah ketimpangan antarwilayah, terutama di daerah-daerah yang infrastruktur teknologinya masih tertinggal.
Pola Pikir Guru: Tantangan Psikologis dan Profesional
Selain tantangan teknis, guru juga menghadapi tantangan psikologis dalam bentuk pola pikir atau mindset. Untuk bisa beradaptasi dengan pembelajaran digital, guru perlu memiliki growth mindset atau pola pikir berkembang. Sayangnya, banyak guru yang masih terjebak dalam pola pikir tetap (fixed mindset), yang cenderung menolak perubahan atau enggan mempelajari hal baru.
Studi Pratiwi & Utama (2024) menunjukkan bahwa rendahnya motivasi belajar guru turut menghambat proses peningkatan kapasitas mereka, terutama dalam konteks perubahan kurikulum. Guru yang tidak memiliki inisiatif belajar mandiri (self-directed learning) sulit berkembang dalam situasi pendidikan yang menuntut inovasi dan pembaruan kompetensi terus-menerus.
Selain itu, beban administratif yang tinggi, tekanan pekerjaan, serta kurangnya insentif atau dukungan kelembagaan membuat guru kehilangan semangat untuk memperbarui keterampilannya. Tanpa perubahan pola pikir, upaya pelatihan atau peningkatan kualitas akan berjalan di tempat.
Dampak Ketidaksiapan Guru dalam Implementasi Kebijakan
Keterbatasan kompetensi guru memiliki dampak besar dalam penerapan kebijakan pembelajaran koding dan KA. Di lapangan, implementasi yang tidak didukung oleh kesiapan guru justru berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran. Banyak guru yang hanya menyampaikan materi secara teoretis tanpa memberikan ruang praktik eksploratif kepada siswa. Akibatnya, siswa tidak mendapatkan pengalaman yang menyeluruh dalam berpikir komputasional atau penguasaan konsep AI.
Kurangnya penguasaan materi oleh guru juga menyulitkan dalam menyusun asesmen yang sesuai dengan capaian pembelajaran. Bahkan, dalam beberapa kasus, guru hanya menyalin materi dari internet atau mengikuti template yang tidak sesuai konteks siswa di sekolah masing-masing.
Jika situasi ini tidak segera ditangani, maka akan terbentuk jurang yang semakin lebar antara kurikulum yang dirancang dan praktik pembelajaran di kelas. Ini tentu bertolak belakang dengan semangat pendidikan abad ke-21 yang mendorong integrasi teknologi sebagai alat transformasi pembelajaran.
Solusi dan Rekomendasi Strategis
Untuk menjawab tantangan tersebut, ada sejumlah strategi dan rekomendasi kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah, institusi pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya:
-
Penguatan Pelatihan Profesional Guru Secara Komprehensif
Pelatihan harus mencakup materi teknis, pedagogi, dan refleksi praktik. Pelatihan ini perlu dilakukan secara berkala, terstruktur, dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal setiap sekolah. -
Integrasi Koding dan KA dalam Pendidikan Prajabatan
Kurikulum pendidikan guru di perguruan tinggi harus mengintegrasikan pembelajaran berbasis teknologi sejak awal. Ini penting untuk mencetak calon guru yang tidak hanya mampu mengajar, tetapi juga menjadi fasilitator pembelajaran digital. -
Pengembangan Komunitas Guru Digital
Guru perlu difasilitasi untuk bergabung dalam komunitas profesional berbasis teknologi, di mana mereka bisa saling belajar, bertukar praktik baik, dan membangun kepercayaan diri dalam mengajar koding dan KA. -
Penyediaan Sumber Daya Digital yang Terbuka dan Gratis
Pemerintah atau mitra swasta bisa berperan dalam menyediakan modul, video, template, dan platform yang mendukung guru dalam mengakses materi ajar secara gratis dan berkelanjutan. -
Kebijakan Pengurangan Beban Administratif Guru
Reformasi birokrasi di tingkat satuan pendidikan sangat penting agar guru memiliki waktu dan ruang untuk belajar, berinovasi, dan fokus pada pengembangan diri serta peningkatan kualitas pengajaran. -
Penguatan Supervisi dan Evaluasi Kompetensi
Evaluasi kompetensi guru dalam mengajar koding dan KA harus menjadi bagian dari sistem supervisi pendidikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pembelajaran benar-benar terjadi, bukan sekadar formalitas.
Kesimpulan
Tantangan kesiapan dan kompetensi guru dalam pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial adalah isu fundamental dalam upaya transformasi pendidikan nasional. Guru tidak hanya membutuhkan keterampilan teknis, tetapi juga pola pikir terbuka, dukungan pelatihan yang relevan, serta ekosistem yang mendukung pembelajaran berkelanjutan.
Jika dibiarkan tanpa penanganan serius, kebijakan pendidikan berbasis teknologi akan berisiko menjadi proyek simbolik yang tidak memberikan dampak nyata bagi peserta didik. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus bersinergi dalam menciptakan strategi yang efektif, terukur, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas guru secara menyeluruh. Dengan begitu, transformasi pendidikan melalui koding dan kecerdasan artifisial benar-benar dapat terlaksana dan membawa perubahan positif bagi masa depan generasi Indonesia.