Kwee Tek Hoay

Biodata Kwee Tek Hoay, Sastrawan Melayu Tionghoa

Biodata Kwee Tek Hoay, Sastrawan Melayu Tionghoa

Hai sobat biodata, kali ini kami akan bagikan biodata Kwee Tek Hoay seorang sastrawan Melayu Tionghoa. Penasaran ingin tahu tentang biodata Kwee Tek Hoay, simak penjelasannya berikut ini.

Kwee Tek Hoay

Kwee Tek Hoay adalah seorang sastrawan Melayu Tionghoa dan tokoh ajaran Tridharma (Sam Kauw Hwee).Beliau banyak menulis karya sastra terutama novel dan drama, kehidupan sosial, dan agama masyarakat Tionghoa peranakan.

Karyanya yang terkenal di antaranya adalah Drama di Boven Digoel, Boenga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia, dan Drama dari Krakatau.

Kwee Tek Hoay dilahirkan di Bogor,pada tanggal 31 Juli 1886 dan meninggal tanggal 4 Juli 1952 di Cicurug, Bogor, Jawa Barat.

Kwee Tek Hoay merupakan anak bungsu dari pasangan Kwee Tjiam Hong dan Tan Ay Nio. Sejak usia 8 tahun, Kwee Tek Hoay masuk sekolah Tionghoa yang menggunakan bahasa pengantar Hokkian.

Tetapi dia sering membolos karena tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan itu. Pendidikan formal terakhir yang ditekuninya setara dengan sekolah dasar masa kini.

Kemudian, ia belajar dibawah bimbingan oleh seorang guru. Pada masa itu, keturunan Tionghoa tidak diperkenankan masuk sekolah Belanda, jika bukan anak seorang bangsawan atau berpangkat.

Kwee Tek Hoay belajar tata buku dan akuntansi dari seorang guru sekolah Belanda. Beliau giat mempelajari bahasa Melayu, Belanda dan Inggris yang kemudian membuatnya sangat gemar membaca buku-buku dalam ketiga bahasa tersebut.

Kwee Tek Hoay menikah dengan Oeij Hiang Nio pada bulan Februari tahun 1906. Mereka mempunyai tiga orang anak, yakni seorang perempuan dan dua anak lelaki. Putri sulungnya yang bernama Kwee Yat Nio mengikuti jejak Kwee Tek Hoay menekuni bidang jurnalistik. Sedangkan kedua adiknya, Kwee Tjoen Gin dan Kwee Tjoen Kouw lebih tertarik dalam perdagangan.

Baca Juga :  Harga Emas Hari Ini Rabu 27 Juli 2022

Kwee mulai aktif menulis pada tahun 1905, dan fokus utama perhatiannya adalah masalah kemasyarakatan. Tulisannya dimuat dalam surat kabar Li Po, Bintang Betawi, dan Ho Po.

Pada saat terjadi Perang Dunia II, Kwee Tek Hoay menulis sebuah artikel yang berjudul “Pemandangan Perang Dunia I tahun 1914—1918” dimuat di Sin Po.

Selain itu, Kwee pernah menjabat sebagai Dewan Redaksi majalah Li Po dan Ho Po. Pada tahun 1926 Kwee mendirikan majalah Panorama.

Akan tetapi, ia menjual majalah itu pada tahun 1931 dan menerbitkan majalah Moestika Romans dan Moestika Dharma.

Lalu, setelah mendirikan kedua majalah itu, perhatian Kwee lebih tertumpu pada persoalan filsafat, agama, kebatinan, dan sejarah.

Di samping itu, ia juga aktif menyebarkan ajaran tiga agama (Sam Kauw) dan mendirikan perkumpulan Sam Kauw. Kwee Tek Hoay menyelenggarakan dialog tentang Agama Budha antara Josiast Van Dienst dan Bhikshu Lin Feng Fei (Kepala Klenteng Kwan Im Tong) di Prinseniaan (Jl. Mangga Besar).

Hasil dialog tersebut antara lain berisi pernyataan bahwa Klenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan untuk tempat pemujaan saja, tetapi juga sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran Agama Buddha.

Dunia sastra mulai digelutinya sekitar tahun 1905 saat menulis novel pertamanya berjudul Yashuko Ochida atawa Pembalesannja Satoe Prampoean Japan.

Naskah itu diterbitkan secara bersambung dalam majalah Ho Po, Bogor. Pada tahun 1919, Kwee Tek Hoay menulis drama 6 babak Allah jang Palsoe. Drama itu diterbitkan atas biaya Tjiong Koen Bie sebanyak seribu eksemplar.

Drama Allah jang Palsoe menyuarakan kecaman terhadap keserakahan manusia yang sangat mementingkan harta di atas segala-galanya.

Pemujaan terhadap harta mengalahkan kecintaan terhadap Tuhan. Drama ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat luas. Pada saat itu banyak kelompok sandiwara yang mementaskan drama Allah yang Palsoe dalam berbagai kesempatan.

Baca Juga :  Resep Dan Cara Membuat Ayam Goreng Ketumbar

Beliau turut serta menyemarakkan kehidupan sastra Indonesia, terutama pada periode awal, dengan menghasilkan karya-karya yang bernuansa pembauran.

Novel, drama, dan syair ciptaannya menyuarakan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sekitarnya. Meskipun ide ceritanya lebih menonjolkan budaya Tionghoa, Kwee Tek Hoay menyesuaikan cerita itu dengan keadaan Indonesia.

Secara umum, gagasan yang tertuang dalam karyanya merupakan masalah kemasyarakatan Tionghoa pada zamannya.

Realitas yang berkembang dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia banyak mengilhami Kwee dalam menghasilkan karya. Masalah pembauran yang tertuang dalam Boenga Roos dari Tjikembang merupakan realitas yang hidup di tengah-tengah masyarakat keturunan Tionghoa.

Kwee sempat berpolemik dengan kelompok Sin Po yang cenderung menganggap keturunan Tionghoa sebagai orang asing di Hindia Belanda yang harus menggunakan bahasa Hokkian sebagai bahasa pertama.

Dia tidak setuju dengan pendapat tersebut. Dia berpandangan lebih moderat. Menurut Kwee, orang-orang Tionghoa adalah kawula Hindia Belanda yang harus berbahasa Melayu atau Barat sebagai bahasa pertama, tetapi memegang teguh tradisi Tionghoa.

Selain banyak mengungkapkan persoalan yang ada di lingkungan masyarakat Tionghoa, karya-karyanya juga banyak membahas tentang persoalan masyarakat di luar kelompok Tionghoa, terutama pribumi.

Wafat

Pada tanggal 4 Juli 1952 Kwee Tek Hoay wafat di Cicurug, Sukabumi karena dianiaya perampok yang menyatroni rumahnya. Beliau merupakan orang pertama yang minta jenazahnya diperabukan dan sejak saat itu banyak orang Tionghoa mengikuti jejaknya.

Beberapa karya Kwee Tek Hoay

Sepanjang hidupnya, Kwee Tek Hoay telah menelurkan sekitar 115 karya dalam berbagai genre.

Drama

  • Allah yang Palsoe (1919)
  • Korbannja Kong Ek (1926)
  • Plesiran hari Minggoe (1927)
  • Korbannya Yi Yung Toan (1928)
  • The ordeal of general Chiang Kai Shek (1929)
  • Mati Hidoep (1931) Pentjoeri (1935)
  • Bingkisan taoen baroe (1935)
  • Barang perhiasan jang paling berharga (1936)
  • Bidji Lada (1936)
Baca Juga :  Kultum Ramadhan: Orang Tua Pemadam Kebakaran

Novel

  • Boenga Roos dari Tjikembang (1927) Pernah dibuatkan film dua kali pada tahun 1931 oleh Wong Brothers, dan 1976 oleh Fred Young.
  • Drama dari Krakatau (1928)
  • Drama di Boven Digoel (1938)
  • Nonton Capgome (1930)
  • Zonder Lentera (1930)
  • Penghidoepannja satoe sri panggung (1931)
  • Drama dari Merapi (1931)
  • Soemangetnja boenga tjempaka (1932)
  • Pendekar dari Chapei (1932)
  • Bajangan dari Kehidoepan jang laloe (1932) diterbitkan dalam majalah Moestika Romans, belum dibukukan.
  • Pengalamannja satoe boenga anjelir (1938)
  • Asepnja Hio dan kajoe garoe (1940)
  • Lelakonnja boekoe (1940)
  • Itoe nona jang bertopeng biroe (1942)

Penutup

Itulah biodata Kwee Tek Hoay seorang sastrawan Melayu Tionghoa. Semoga bisa menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi sobat biodata sekalian.

Sumber : id.wikipedia.org