Biodata Sobron Aidit, Penulis dan Penyair

Sobron Aidit

Biodata Sobron Aidit, Penulis dan Penyair

Hai sobat biodata, kali ini kami akan bagikan biodata Sobron Aidit seorang Penulis dan Penyair. Penasaran ingin tahu tentang biodata Sobron Aidit, simak penjelasannya berikut ini.

Sobron Aidit

Sobron Aidit adalah seorang penulis dan penyair terkemuka pada zaman Orde Lama. Beliau lahir pada tanggal  2 Juni 1934, di  Tanjung Pandan, Belitung, Hindia Belanda dan meninggal pada 10 Februari 2007 diusia 72 tahun, di Paris, Prancis.

Sebagai penulis, Sobron Aidit menulis cerita-cerita pendek. Beliau bertahun-tahun hidup dalam pengasingan di Paris (Prancis).

Namanya berkaitan erat dengan tokoh politisi PKI D.N Aidit yang merupakan kakak dari Sobron Aidit. Pendidikannya ditempuhnya di HIS di Belitung, dan kemudian melanjutkan sampai ke Universitas Indonesia di Jakarta.

Mulai menulis saat berusia 13 tahun. Cerita pendeknya “Kedaung” adalah karya pertamanya yang dimuat di majalah Waktu, Medan.

Pindah ke Jakarta, Sobron bertemu dengan Chairil Anwar yang kebetulan tinggal bersama dengan kakaknya. Chairil banyak membimbingnya dalam penulisan dan kreativitas Sobron pun semakin berkembang.

Sejak saat itu, puisi dan cerpennya terbit di berbagai majalah, seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, yang semuanya diasuh oleh H.B. Jassin.

Penerbitan lain yang memuat karya-karyanya antara lain Harian Sunday Courier, Republik, Bintang Timur (Bintang Minggu), Harian Rakjat, Zaman Baru, Kencana, Siasat, Mutiara, dll.

Sobron pernah mendapatkan penghargaan Hadiah Sastra untuk karya-karyanya. Cerpennya, “Buaja dan dukunnja” mendapatkan penghargaan dari Majalah Kisah atau Sastra pada tahun 1955 hingga tahun 1956, dan cerpennya “Basimah” mendapatkan penghargaan dari Harian Rakjat Kebudajaan pada tahun 1961.

Baca Juga :  Biodata W.S. Rendra (Willibrordus Surendra Broto Rendra), Sastrawan Indonesia

Sobron Aidit bekerja sebagai guru di SMA Utama di Salemba, dan SMA Tiong Hoa Hwee Koan, keduanya di Jakarta (1954-1963).

Beliau juga menjadi dosen di Akademi Sastra Multatuli yang didirikannya bersama Prof. Bakri Siregar. Selain itu, Sobron juga pernah menjadi wartawan untuk Harian Rakjat dan Bintang Timur, keduanya terkenal sebagai harian kiri pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an.

Sobron juga aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof. Dr. Prijono, dan selanjutnya bersama Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958).

Pada tahun 1960 hingga tahun 1962, beliau aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K. Werdoyo dan Nyak Diwan, dan pengurus Baperki bersama Siauw Giok Tjhan dan Buyung Saleh pada tahun 1960 hingga tahun 1961.

Sebagai seorang seniman, Sobron mendirikan kelompok “Seniman Senen” bersama SM Ardan, Wim Umboh dll. Pada tahun 1963 beliau mendapat undangan untuk menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing pada tahun 1964.

Di samping itu Sobron tetap menjadi wartawan, antara lain untuk Peking Review. Sobron dan keluarganya bermukim di Beijing atau Tiongkok sebagai pengajar di Institut Bahasa Asing. Sejak saat itu, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Karena, bila Sobron kembali, keselamatannya tidak terjamin.

Pada tahun 1966 hingga tahun 1976 Tiongkok dilanda Revolusi Kebudayaan yang antara lain besifat anti kaum intelektual.

Sobron pun terpaksa berhenti bekerja dan diperintahkan pergi ke desa untuk hidup dan bekerja bersama dengan para petani. Setelah Revolusi ini berakhir, pada tahun 1979 beliau kembali ke Beijing dan bekerja di Radio Peking sebagai penyiar dan redaktur.

Setelah kontraknya dengan Radio Peking berakhir, Sobron berniat meninggalkan Tiongkok, akantetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana.

Baca Juga :  Biodata Soni Farid Maulana, Sastrawan Indonesia

Awalnya ia berniat ingin pergi ke Hong Kong, akatetapi Sobron khawatir akan diekstradisi ke Indonesia. Pada tahun 1981, beliau memutuskan ke Paris, meskipun sama sekali tidak paham tentang negara itu dan tidak mengenal bahasanya.

Setelah sampai di Prancis,Sobron diberikan pelajaran bahasa Prancis di pusat penampungan pengungsi. Bersama sejumlah temannya, ia mendirikan restoran “Indonesia” di Rue de Vaugirard , Paris. Beberapa cerita pendek berlatar belakang dari restorannya itu.

Selesai mendapatkan pelajaran dasar bahasa Prancis, Sobron dan teman-temannya dilepas oleh pemerintah Prancis untuk hidup mandiri.

Muncullah ide di antara mereka untuk membuka sebuah restoran Indonesia secara kolektif, meskipun tak seorangpun dari mereka yang punya pengalaman mengelola restoran.

Selama 6 bulan Sobron dan temannya Umar Said berkeliling Paris untuk mencari lokasi dan mempelajari menu restoran-restoran yang sudah ada.

Dana untuk membuka restoran mereka peroleh dari berbagai sumber, terutama dari sejumlah pendukung di Belanda, dari Gereja Katolik, dan dari uang tunjangan yang mereka terima selama 2 tahun dari pemerintah Prancis.

Selain itu, ada juga bantuan dari sejumlah teman orang Prancis yang bersimpati dengan nasib mereka. Presiden Mitterand bahkan sangat bersimpati, dan istrinya pernah beberapa kali singgah dan makan di restoran mereka yang kecil itu, di kawasan Luxembourg, pusat kota Paris.

Oleh pemerintah Indonesia sendiri kelompok ini diboikot dan dimusuhi. Baru setelah Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, ada keterbukaan dari pihak perwakilan Indonesia di Paris.

Simon Sobron Aidit terakhir tinggal di Prancis, sementara dua anaknya (Wita dan Nita) tinggal di Belanda. Istrinya telah lama meninggal ketika masih tinggal di Tiongkok. Keluarga besar Sobron Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat.

Baca Juga :  Review Iphone 12 Mini Beserta Spesifikasi dan Harga Terbaru

Wafat

Selama Orde Baru, karya-karya Sobron dilarang beredar. Meskipun demikian, tulisan-tulisannya tetap muncul di berbagai media di Indonesia, semuanya dengan nama samaran.

Sobron menjadi salah seorang pendukung dan penulis yang aktif bagi usaha terbitan pers alternatif, terutama sekali bagi majalah sastra dan seni Kreasi, majalah Mimbar, dan majalah opini dan budaya pluralis Arena.

Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Mandarin, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman, dan Prancis.

Penulis yang mengaku punya 25 nama samaran selama 32 tahun ini terkena serangan jantung dua hari sebelum ia meninggal di rumah sakit di Paris, Perancis pada tanggal 10 Februari 2007.

Pengahrgaan

  • Cerpen Buaja dan Dukunja mendapat penghargaan dari majalah Kisah/Sastra
    (1955-1956),
  • Cerpen Basimah mendapat penghargaan Harian Rakyat Kebudayaan (1961)

Karya Tulis 

Sebagian dari karangan dan kumpulan puisi karya Sobron Aidit:

  • Surat kepada Tuhan: memoar (2003)
  • Gajah di Pelupuk Mata: memoar Sobron Aidit (2002)
  • Kisah Intel dan Sebuah Warung, Garba Budaya, (2000)
  • Cerita dari Tanah Pengasingan (1999)
  • Mencari Langit: sebuah kumpulan sajak (1999)
  • Razia Agustus: kumpulan cerpen penerbit Gramedia Pustaka (1992) dan diluncurkan dalam sebuah acara
  • diskusi buku di Bentara Budaya Jakarta pada November 2006.
  • Derap Revolusi: kumpulan novelette and tjerpen (1962)
  • Ketemu di Djalan : Tiga Kumpulan Sadjak (bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan, 1956)

Penutup

Itulah biodata Sobron Aidit seorang Penulis dan Penyair . Semoga bisa menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi sobat biodata sekalian.

sumber : id.wikipedia.org

 

You May Also Like

About the Author: Afnan Rafiski